Aksi 55 dan Upaya Menggoyang Putusan Hakim
Dikutip dari tirto.id
- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) akan menggelar demonstrasi atau aksi 55, pada Jumat (5/5/2017). Ketua GNPF-MUI, Bactiar Nasir mengatakan aksi mereka bertujuan untuk menuntut keadilan agar majelis hakim memberikan vonis yang berat kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penodaan agama.
Bahtiar Nasir mengklaim aksi 55 bukan dalam rangka mengintervensi proses hukum di pengadilan, melainkan menuntut keadilan agar majelis hakim yang menangani perkara Ahok menggunakan yurisprudensi dari perkara-perkara penistaan agama sebelumnya.
“Kami tegaskan saat ini kami tidak pada posisi ingin menekan hukum. Kami hanya ingin menuntut keadilan yang merupakan hak kami sebab terlalu terang di depan mata ketidakadilan ini seakan-akan tidak ada yurisprudensi sebelumnya,” kata Bahtiar, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Selasa (2/5/2017).
Menurut Bahtiar, ketidakadilan sudah terlihat saat persidangan tidak menuntut Ahok dengan Pasal 156 huruf tentang penodaan agama, melainkan hanya menggunakan Pasal 156 tentang penodaan kepada golongan. Ia mengaku sudah mengetahui skenario tersebut sejak awal. Karena itu, ia menilai hal tersebut telah mencederai proses peradilan.“Ini bukan saja mempermainkan hukum. Hukum untuk hukum itu sendiri, bukan hukum untuk sebuah keadilan, tetapi ini juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia sebagai stakeholder terbesar bangsa ini, sebagai pemberi pengaruh besar bangsa ini,” kata Bahtiar.
Tak hanya itu, Bahtiar juga menganggap sikap JPU yang menggunakan Pasal 156 itu telah mendeligitimasi Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa yang dikawal oleh GNPF-MUI statusnya lebih rendah daripada sikap keagamaan MUI. Namun, fatwa dalam kasus dugaan penistaan agama tidak dihiraukan dalam persidangan padahal fatwa MUI sering dipakai untuk proses peradilan.
“Kali ini bukan cuma MUI yang dilegitimasikan, sikap keagamaan dan kefatwaannya, tetapi saksi-saksi ahli dari muhammadiyah, dari NU pun diabaikan,” ujarnya.
Atas pertimbangan tersebut, menurut Bahtiar, dirinya bersama para petinggi GNPF-MUI akan kembali berkonsolidasi untuk menggelar aksi pada 5 Mei atau aksi 55. Ia mengatakan, GNPF-MUI akan segera mengirimkan surat kepada kepolisian setelah konsolidasi aksi.
Menanggapi rencana aksi 55, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku bahwa pihaknya belum mendapat pemberitahuan aksi tersebut. “Kita belum mendapatkan konfirmasi akan ada aksi 55. Kita tunggu saja nanti,” kata Argo saat dihubungi Tirto, Selasa (2/5/2017).
Argo belum mau berbicara lebih lanjut tentang aksi tersebut karena pihaknya belum mendapatkan detail pemberitahuan aksi. Mantan Kabid Humas Polda Jatim ini pun enggan menanggapi apakah polisi akan mempersilahkan massa untuk beraksi di Mahkamah Agung atau tidak.
“Saya tidak berkomentar itu ya. Tapi tunggu saja kegiatan itu ada atau tidak, pemberitahuan itu ada atau tidak,” kata Argo.Namun demikian, tim advokasi GNPF-MUI, Kapitra Ampera menegaskan aksi 55 tidak bisa dicegah oleh siapapun, termasuk polisi. “Kami yakin tidak ada penghambatan karena kami lagi menjalankan undang-undang,” kata Kapitra di Tebet, Jakarta, Selasa.
Kapitra menegaskan, aksi mereka diatur dalam undang-undang seperti UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan ekspresi. Ia justru menilai aksi mereka sudah mengikuti undang-undang yang berlaku. Mereka memberikan pemberitahuan kepada aparat berwajib sebelum melaksanakan aksi. Mereka pun siap menunggu izin tersebut keluar jika hal tersebut diatur dalam undang-undang.
“Kalau undang-undang bilang harus ada izin kami akan tunggu izinnya. Undang-undang tak pernah mengstruksikan harus ada izin, tapi hanya memberitahukan,” kata Kapitra.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai masyarakat tidak perlu melakukan aksi turun ke jalan pada 5 Mei 2017 atau aksi 55. “Kalau urusan perlu tidak perlu, pemerintah menganggap tidak perlu lagi, kan pengadilan urusannya itu, tapi sulit juga kita batasi seperti itu akibat ada di undang-undang,” kata JK usai membuka acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Balai Sidang Jakarta (JCC), Rabu (3/5/2017) seperti dikutip Antara.
Undang-undang yang dimaksud JK adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sehingga apabila ada masyarakat yang ingin melakukan aksi 55 maka itu hak mereka.
“Ya, bagi pemerintah tentu menganggapnya tidak perlu, cuma orang yang mau turun ke jalan merasa perlu, dan ini bagian daripada kebebasan dalam demokrasi," kata JK.
Meskipun demikian, Wapres menggarisbawahi bahwa penyelenggara, yakni GNPF-MUI, harus menaati peraturan yang berlaku dan mengikuti arahan dari pihak keamanan. “Jadi, silakan saja, tetapi ada aturannya, jamnya terbatas, jalannya terbatas, juga jumlahnya harus juga dibatasi, gaduhnya tidak boleh, dan kalau melanggar keamanan, ditangkap,” kata dia.
Selengkapnya disini
gambar ilustrasi |
Bahtiar Nasir mengklaim aksi 55 bukan dalam rangka mengintervensi proses hukum di pengadilan, melainkan menuntut keadilan agar majelis hakim yang menangani perkara Ahok menggunakan yurisprudensi dari perkara-perkara penistaan agama sebelumnya.
“Kami tegaskan saat ini kami tidak pada posisi ingin menekan hukum. Kami hanya ingin menuntut keadilan yang merupakan hak kami sebab terlalu terang di depan mata ketidakadilan ini seakan-akan tidak ada yurisprudensi sebelumnya,” kata Bahtiar, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Selasa (2/5/2017).
Menurut Bahtiar, ketidakadilan sudah terlihat saat persidangan tidak menuntut Ahok dengan Pasal 156 huruf tentang penodaan agama, melainkan hanya menggunakan Pasal 156 tentang penodaan kepada golongan. Ia mengaku sudah mengetahui skenario tersebut sejak awal. Karena itu, ia menilai hal tersebut telah mencederai proses peradilan.“Ini bukan saja mempermainkan hukum. Hukum untuk hukum itu sendiri, bukan hukum untuk sebuah keadilan, tetapi ini juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia sebagai stakeholder terbesar bangsa ini, sebagai pemberi pengaruh besar bangsa ini,” kata Bahtiar.
Tak hanya itu, Bahtiar juga menganggap sikap JPU yang menggunakan Pasal 156 itu telah mendeligitimasi Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa yang dikawal oleh GNPF-MUI statusnya lebih rendah daripada sikap keagamaan MUI. Namun, fatwa dalam kasus dugaan penistaan agama tidak dihiraukan dalam persidangan padahal fatwa MUI sering dipakai untuk proses peradilan.
“Kali ini bukan cuma MUI yang dilegitimasikan, sikap keagamaan dan kefatwaannya, tetapi saksi-saksi ahli dari muhammadiyah, dari NU pun diabaikan,” ujarnya.
Atas pertimbangan tersebut, menurut Bahtiar, dirinya bersama para petinggi GNPF-MUI akan kembali berkonsolidasi untuk menggelar aksi pada 5 Mei atau aksi 55. Ia mengatakan, GNPF-MUI akan segera mengirimkan surat kepada kepolisian setelah konsolidasi aksi.
Menanggapi rencana aksi 55, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku bahwa pihaknya belum mendapat pemberitahuan aksi tersebut. “Kita belum mendapatkan konfirmasi akan ada aksi 55. Kita tunggu saja nanti,” kata Argo saat dihubungi Tirto, Selasa (2/5/2017).
Argo belum mau berbicara lebih lanjut tentang aksi tersebut karena pihaknya belum mendapatkan detail pemberitahuan aksi. Mantan Kabid Humas Polda Jatim ini pun enggan menanggapi apakah polisi akan mempersilahkan massa untuk beraksi di Mahkamah Agung atau tidak.
“Saya tidak berkomentar itu ya. Tapi tunggu saja kegiatan itu ada atau tidak, pemberitahuan itu ada atau tidak,” kata Argo.Namun demikian, tim advokasi GNPF-MUI, Kapitra Ampera menegaskan aksi 55 tidak bisa dicegah oleh siapapun, termasuk polisi. “Kami yakin tidak ada penghambatan karena kami lagi menjalankan undang-undang,” kata Kapitra di Tebet, Jakarta, Selasa.
Kapitra menegaskan, aksi mereka diatur dalam undang-undang seperti UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan ekspresi. Ia justru menilai aksi mereka sudah mengikuti undang-undang yang berlaku. Mereka memberikan pemberitahuan kepada aparat berwajib sebelum melaksanakan aksi. Mereka pun siap menunggu izin tersebut keluar jika hal tersebut diatur dalam undang-undang.
“Kalau undang-undang bilang harus ada izin kami akan tunggu izinnya. Undang-undang tak pernah mengstruksikan harus ada izin, tapi hanya memberitahukan,” kata Kapitra.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai masyarakat tidak perlu melakukan aksi turun ke jalan pada 5 Mei 2017 atau aksi 55. “Kalau urusan perlu tidak perlu, pemerintah menganggap tidak perlu lagi, kan pengadilan urusannya itu, tapi sulit juga kita batasi seperti itu akibat ada di undang-undang,” kata JK usai membuka acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Balai Sidang Jakarta (JCC), Rabu (3/5/2017) seperti dikutip Antara.
Undang-undang yang dimaksud JK adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sehingga apabila ada masyarakat yang ingin melakukan aksi 55 maka itu hak mereka.
“Ya, bagi pemerintah tentu menganggapnya tidak perlu, cuma orang yang mau turun ke jalan merasa perlu, dan ini bagian daripada kebebasan dalam demokrasi," kata JK.
Meskipun demikian, Wapres menggarisbawahi bahwa penyelenggara, yakni GNPF-MUI, harus menaati peraturan yang berlaku dan mengikuti arahan dari pihak keamanan. “Jadi, silakan saja, tetapi ada aturannya, jamnya terbatas, jalannya terbatas, juga jumlahnya harus juga dibatasi, gaduhnya tidak boleh, dan kalau melanggar keamanan, ditangkap,” kata dia.
Selengkapnya disini
Post a Comment